formatnews - Mungkin hari ini Batak Pos berusia 40 hari. Lantas? Kebetulan saja saya baru tahu koran itu hari ini, dan saya lihat edisinya adalah “No 040/Tahun Ke-1″. Tentu dengan pengandaian, hari Minggu dan libur pun tetap terbit.

Koran yang berslogan “Kebebasan demi Kebenaran” ini punya kantor redaksi dan bisnis di Jakarta dan Medan. Harga langganannya pun dua macam: untuk dalam dan luar “Jabodetabek & Medan”.

Jika merujuk nama, koran berbahasa Indonesia yang didirikan oleh St. Dr. Sopar Pandjaitan ini untuk orang Batak. Memang sih, ada atribut “harian umum”.

Dulu, Sinar Pagi versi lama, juga berkesan Batak. Iklan pertemuan marga dan sejenisnya sering dimuat di sana. Ketika koran itu sempat pecah, pada tahun 90-an, saya mewawancarai salah satu editor edisi tandingan, dan bertanya apakah korannya masih untuk orang Batak. Jawabannya, “Sudah barang tentu, Kawan!”

Primordialisme? Kalaupun jawabannya “ya”, tak soal bagi saya. Indonesia adalah sebuah keragaman. Sekarang, pasca-Soeharto, koran Mandarin ada beberapa, menyusul koran tunggal beraksara Cina, Harian Indonesia. Dulu, koran itu adalah satu-satunya media cetak beraksara Cina yang boleh beredar. Maksud saya selain lembaran aturan pakai dalam kemasan obat.

Karena Indonesia adalah keragaman, maka koran bernapaskan keagamaan juga sah untuk hadir. Pelita sempat sekian lama menjadi corong Partai Persatuan Pembangunan. Republika, yang dibidani oleh orang-orang ICMI, ketika menawarkan formulir pemesanan saham sudah mengisikan “Islam” dalam kolom agama.

Sinar Harapan versi lama secara jelas mencitrakan diri sebagai koran Kristen. Edisi Ahad punya rubrik renungan Injili. Iklan-iklan kebaktian dan ziarah Nasrani selalu meramaikan halaman.

Bahkan ketika koran itu muncul sebagai Suara Pembaruan setelah SH dibredel, pemimpin redaksi pertamanya adalah Soetarno, seorang pendeta dan teolog — sebagai hasil kompromi dengan rezim Soeharto. Bagaimana setelah Sinar Harapan, di bawah Aristides Katoppo, muncul lagi? Silakan Anda timbang sendiri.

Kompas? Hehehe, sampai hari ini koran itu masih menyandang sisa stigma sebagai koran Katolik.

Pemetaan latar koran itu adalah hasil sejarah. Terlalu panjang untuk ditulis di sini. Bisa-bisa posting ini penuh catatan kaki dan hyperlinks. Dan bisa-bisa saya kelihatan semakin ngawur, padahal sebagai gombalan blog ini sudah kacau.

Saya cuma mau menyatakan, menerima Indonesia adalah terbuka terhadap keragaman. blogombal - catatan ringan