St.Levi Press,
Mungkin harus diperjelas, apa itu teror kritik? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik diartikan sebagai bentuk tanggapan yang disertai dengan uraian dan pertimbangan atas baik atau buruk terhadap suatu hasil karya, pekerjaan, atau pendapat tertentu. Apapun bentuk dan cara penyampaiannya, suatu kritik tidak akan pernah terdengar menyenangkan bagi siapapun pihak yang ditujukan. Namun, tidak sedikit masyarakat yang kemudian keliru menginterpretasikan ataupun mempersepsikan.
Dikatakan teror kritik, karena seringkali membuat gerah pihak yang diberikan kritik, bahkan menjadikannya sebagai ancaman. Sesuatu yang lumrah apabila dipandang sebagai bentuk aksi dan reaksi. Keliru dalam mempersepsikan kritik, maka akan keliru pula menyikapinya. Keliru dalam menginterpretasikan, maka akan keliru pula dalam mengartikannya.
Bukan Etika, Tetapi Aturan Main
Anda bertemu dengan seseorang, kemudian berkenalan cukup singkat. Dalam beberapa kesempatan, tiba-tiba Anda melayangkan kritik kepada orang yang belum lama Anda kenal. Sekali dua kali, orang tersebut mendiamkan. Tetapi setelah beberapa kali kemudian memperlihatkan sikap tidak suka kepada Anda.
Pertemanan biasa, apalagi hanya beberapa waktu berkenalan tidak membenarkan Anda melayangkan kritik terhadap orang tersebut. Perlu digarisbawahi, bahwa Anda bukan sahabatnya atau individu yang dianggap mengenal cukup dekat. Anda bukanlah seseorang yang memiliki hubungan istimewa dengan orang yang diberikan kritik. Cukuplah sekali jika memang memaksa. Jika yang bersangkutan tidak menanggapi, itu berarti Anda bukanlah orang yang dikehendaki untuk memberikan kritik. Apalagi jika kritik tersebut dimaksudkan untuk menyerang obyek kepribadian dan perilaku yang bersangkutan. Seperti lirik lagu “Keong Racun” terucapkan “Baru kenal sudah ngajak tidur”.
Hal serupa juga perlu diperhatikan dengan pertemanan di dunia maya seperti melalui media jejaring sosial. Kita harus memperhatikan, apakah pihak yang hendak dikritik pribadinya membuka peluang. Jika pun membuka peluang, kemudian akhirnya direspon negatif, Anda tidak bisa memaksakan kehendak. Kecuali Anda adalah teman terdekatnya.
Bagaimana halnya dengan kritik atas karya sastra/seni?
Pihak yang mempublikasikan karya sastra atau kerja seninya akan mendapatkan keuntungan dari pekerjaannya. Penikmat karya seni/sastra tidak selalu paham tentang kadar kualitas suatu karya seni/sastra. Tentu saja dibutuhkan pandangan (kritik) dari kalangan kritikus seni/sastra untuk mengetahui penilaian ataupun pandangan dari pihak lain, selain si pembuat karya sastra/seni. Suka ataupun tidak suka, si pembuat karya sastra/seni harus menerima hasil (output) kritik dari para kritikus, karena para penikmat karya sastra/seni mungkin akan lebih mendengarkan suara atau pandangan para kritikus. Dalam hal ini, hubungan antara seniman ataupun sastrawan dan para kritikus dilandasi pada hubungan profesional dari masing-masing pihak.
Penilaian atas karya sastra maupun seni tidak memiliki ukuran kuantitatif. Begitu pula kritik atas karya film dan karya seni lainnya. Mereka tidak memiliki ukuran baku, karena penilaian didasarkan atas persepsi dan rasa, bukan atas dasar logika dan penalaran. Output dari para kritikus terkadang seringkali melewati batas, bahkan menyerang individu. Apapun bentuk kritik tersebut merupakan respon dari pihak yang berlatarbelakang sama.
Bagaimana halnya dengan kritik atas kebijakan pemerintah?
Pemerintah adalah pihak yang diberikan amanat oleh rakyat melalui konstitusi untuk menjalankan fungsi pemerintahan, termasuk fungsi pembuat kebijakan dan evaluasinya. Tidak semua rakyat, bahkan mayoritas rakyat memahami dengan baik fungsi pemerintahan yang telah dijalankan maupun kebijakan yang dibuat. Seperti diketahui, bahwa rakyat pula merupakan pihak yang turut mendanai pemerintahan melalui uang pajak. Hak rakyat untuk mengetahui kualitas pengelolaan atau manajemen pemerintahan, termasuk pula kualitas dalam pembuatan kebijakan. Keberadaan para pengamat untuk memberikan kritik akan menjembatani pemenuhan hak-hak politik rakyat atas pemberian kewenangan maupun amanat. Pemerintah tidak bisa bersikap tidak suka kepada kritik apapun yang ditujukan kepadanya, termasuk apabila kritik tersebut menyerang pribadi si pemangku kebijakan.
Dalam hal ini, lembaga legislatif seperti DPR ataupun parlemen merupakan institusi yang berada di barisan terdepan para pengkritik pemerintah. Lembaga legislatif seharusnya tidak boleh terlalu sering didahului oleh pengkritik-pengkritik di luar lembaga tersebut. Sekalipun dalam konstitusi dituliskan turut bekerjasama dengan pemerintah dalam membuat undang-undang, akan tetapi lembaga legislatif ini pun harus mengkedepankan pula fungsi pengawasannya. Jika terlalu sering didahului oleh pengkritik di luar lembaga legislatif, maka hal ini akan dapat mengurangi kewibawaan anggota legislatif itu sendiri.
Tidak ada etika dalam menyampaikan suatu kritik, kecuali ada kemauan atau minat untuk menyampaikannya kepada pihak tertentu. Etika akan berkonotasi dengan adab atau kesantunan berperilaku. Kurang relevan apabila etika kemudian dijadikan landasan perilaku dalam memberikan kritik. Jika demikian halnya, sebaiknya tidak perlu ada kritik, melainkan cukup hanya menjadi obrolan sambil lalu. Tidak ada istilah ‘kritik yang membangun’, karena sesungguhnya istilah tersebut hanya mencoba untuk mengaburkan makna penyampaiannya. Kritik yang disampaikan dengan penyebutan ‘kesantuan’ justru akan semakin tidak diperhatikan dan bukan disebut kritik, melainkan nasehat.
Anti Kritik
Saya pernah mendengar, jika kritik yang membangun apabila kritik tersebut disampaikan berserta solusinya. Terlintas dalam benak saya, kenapa tidak sekalian saja bagi pihak yang mengkritik membuat makalah. Kritik adalah kritik, sedangkan mengenai solusinya diserahkan kepada pihak yang diberikan kritik. Tentunya pihak yang mengkritik tadi mengetahui kapasitas (kemampuan) dari pihak yang diberikan kritik. Beberapa kritik mungkin berisikan pula dengan alternatif solusi, akan tetapi tidak dapat dipaksakan sebagai bentuk solusi. Dalam hal ini, cara untuk menciptakan solusi harus diserahkan kepada pihak yang diberikan kritik.
Bentuk lain dari sikap anti kritik berupa pernyataan apabila kritik sebaiknya disampaikan dengan santun, tanpa dilandasi sikap kebencian. Sikap dan pernyataan seperti ini menandakan bentuk penolakan atas kritik yang kurang menyukai atas sikap yang berseberangan atau berbeda pendapat. Sikap anti kritik semacam ini pula mencerminkan kurangnya pemahaman atas makna dari kritik. Suatu kritik dalam bentuk dan dilandasi oleh kondisi apapun merupakan reaksi dari pihak tertentu terhadap sikap atau pandangan pihak tertentu pula. Sikap kebencian adalah rasa yang tentu saja timbul karena ada sebab tertentu, yaitu sebagai akibat adanya bentuk hubungan khusus.
Ada pula bentuk lain dari anti kritik seperti pernyataan bahwa kritik hendaknya harus diikuti dengan tindakan nyata atau tidak hanya sekedar mengkritik. Tentu agak membingungkan, tindakan nyata seperti apa yang dimaksudkan. Padahal kritik itu sendiri adalah bentuk tindakan nyata yang dilakukan bukan tanpa usaha. Pernyataan dan sikap anti kritik tersebut dilontarkan dengan sengaja untuk mengaburkan esensi yang terdapat di dalam kritik itu sendiri. Misalnya, Anda mengkritik atasan Anda atas cara menangani bidang HRD, sehingga tidak pernah tepat menempatkan karyawan. Kemudian dari pihak atasan menanyakan balik tindakan nyata dari Anda sendiri, terkait dengan kritik tersebut. Tentu saja Anda akan merasa bingung, karena kritik adalah bentuk komunikasi, sedangkan tindakan nyata adalah bentuk perbuatan.
Ada cukup beragam pola anti kritik, bahkan sampai pada taraf penyerangan pribadi dari individu. Pihak yang tidak mau menerima kritik akan melakukan serangan balik atau mengkritik balik. Seringkali esensinya tidak lagi relevan dari topik yang dibahas. Jadilah kemudian perdebatan kusir dan tindakan saling mengecam satu sama lain. Tujuannya tidak lain untuk membungkam suara pengkritik atau bisa dikatakan untuk menciptakan efek jera.
Anti kritik merupakan bentuk propaganda sosial yang sengaja dibangun oleh pihak kekuasaan atau penguasa untuk menghadapi serangan dari lawan-lawan politiknya. Pihak penguasa yang menempati posisi kekuasaan dalam pemerintahan akan sangat rawan memperoleh serangan politik. Kritik dari lawan-lawan politiknya akan diikuti pula dengan kritik di luar ranah perseteruan politik. Tentu saja kondisi semacam ini akan menjadi ancaman bagi popularitas politik dari pihak penguasa. Diperlukan upaya untuk mengeliminasi dampaknya dengan membangun propaganda politik melalui kekuatan politik yang dimiliki oleh pihak penguasa. Dalam hal ini, propaganda sosial tersebut akan bekerja di luar ranah kekuasaan yang menjadi perseteruan dengan lawan-lawan politiknya.
Penguasa akan melakukan pendekatan dengan institusi atau kelompok tertentu yang nantinya akan dijadikan sebagai jaringan propaganda anti kritik. Misalnya seperti perguruan tinggi, kelompok akademisi, kelompok pengusaha, ataupun tokoh-tokoh tertentu. Pendekatan tersebut dilakukan untuk menyelaraskan kesamaan prinsip dan cara pandang. Tentu saja penyelarasannya harus sesuai dengan keinginan penguasa. Dengan dirangkulnya kelompok-kelompok tersebut setidaknya akan mengeliminasi atau mengurangi serangan politik, karena adanya kesamaan prinsip dan cara pandang. Mereka yang dirangkul oleh pihak penguasan biasanya memiliki jaringan sosial yang cukup kuat atau besar, setidaknya memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Pendapat atau ucapannya akan selalu didengar dan diikuti oleh orang-orang yang masuk ke dalam jaringan sosialnya. Di sinilah kemudian menjadi media yang cukup strategis untuk menyebarkan propaganda anti kritik.
Penutup
Anti kritik sebenarnya kurang relevan apabila gunakan perspektif individu sebagai sasaran kritik. Jika seseorang tidak suka dengan kritik, maka dirinya akan merespon dengan cara atau pribadinya sendiri. Bisa dengan mendiamkan atau bisa pula dengan menjauhkan diri dengan orang yang mengkritiknya. Sekalipun pemaknaannya serupa dengan anti kritik, akan tetapi sikap penolakan tersebut tidak bisa diambil kesimpulan sebagai bentuk anti kritik. Bisa jadi yang bersangkutan menanggapi tidak secara langsung, tanpa sepengetahuan pihak yang mengkritik. Anda tidak bisa memaksakan pihak lain untuk menerima kritik sesuai dengan kemauan Anda. Namun, pihak yang dikritik pun tidak bisa mengharuskan kritik sesuai dengan keinginannya.
Ada dua bentuk kritik, yaitu kritik yang hanya bersifat satu arah dan kritik yang memiliki bentuk dua arah. Masing-masing bentuk memiliki implikasi dan konsekuensinya yang harus bisa dipahami oleh masing-masing pihak. Situasi dari masing-masing pihak pun akan turut menentukan terciptanya bentuk kritik yang disampaikan. Pada prinsipnya, apapun bentuknya, kritik harus ditujukan kepada pihak yang tepat.
Selama 32 tahun lamanya bangsa Indonesia hidup di alam demokrasi yang represif menyebabkan kurang begitu dekat dengan kritik. Kebiasaan berpikir sengaja didesai statis atau dengan dinamika yang tidak boleh berlebihan. Ironisnya, pembatasan dan pembungkaman semacam ini justru paling sering dijumpai di lingkungan sekolah maupun perguruan tinggi. Akibatnya, budaya berpikir kritis sulit menjadi bagian berpikir masyarakat secara umum. Kesantunan yang tidak pada tempatnya pun disinyalir menyebabkan berkurangnya budaya berpikir kritis. Pada prinsipnya, kritik mencerminkan bagian dari cara berpikir kritis yang muncul sebagai bentuk sikap dan reaksi terhadap sesuatu yang dikritiknya. Bukan sesuatu yang sederhana apabila dikatakan budaya berpikir kritis harus ditanamkan sejak usia dini, baik dilingkungan pendidikan formal maupun lingkungan kelaurga.
Yogyakarta, 13 Februari 2012
Ditulis oleh : Leo Kusuma